Share With Us
 
Tentang Blessing buddha Product Blessing buddha Article Blessing Buddha
Kontak
BlessingBuddha.Com 081283757626
Pengiriman Melalui
BlessingBuddha.Com
BlessingBuddha.Com
BlessingBuddha.Com

BlessingBuddha.Com

Flag Counter
Detail Article

24-08-2012
Sabda Luhur Sang Buddha
Sabda Luhur Sang Buddha


SUVIJÂNO BHAVAM HOTI, SUVIJÂNO PARÂBHAVO
DHAMMAKÂMO BHAVAM HOTI, DHAMMADESSI PARÂBHAVO

Kesejahteraan dalam kehidupan adalah wajar,
kemerosotan dalam kehidupan juga adalah wajar.
Seseorang yang mencintai Dhamma akan sejahtera,
Seseorang yang membenci Dhamma akan merosot.
(Sutta Nipâta. 92)


Tragedi Kemanusiaan

Masa keemasan suatu bangsa adalah hal yang sangat diidam-idamkan oleh setiap anak bangsa, masa yang penuh kegemilangan, kedamaian, dan juga sejahtera. Namun, tidakkah kita tahu, bahwa semua itu adalah proses. Masa keemasan ini bisa bersifat historis, bisa juga bersifat konstruksi romantisme yang berbaur dengan emosi dan keyakinan keagamaan sehingga selalu dirujuk dan dijadikan model kehidupan masa depan. Seberapa relevan konstruksi sejarah masa lalu untuk memecahkan kompleksitas problem hari ini?

Harapan masa keemasan memang menjadi idaman, namun terkadang hanya tinggal harapan saja. Marilah kita lihat kondisi saat sekarang ini! Tindakan-tindakan kekerasan mewarnai segala aspek kehidupan. Dalam dunia ini hampir sebagian besar umat beragama dan mereka tak segan-segan menonjolkan keagamaan mereka dengan identitas-identitas luar, seperti tradisi, budaya, lambang-lambang agama, dan kekuatan mayoritas.

Memang, agama mempunyai peran yang nyata dalam kehidupan ini, tetapi kenapa semua ini terjadi? Apakah agamanya yang salah? Terkadang kita terlalu idealisasi-romantisme terhadap kejayaan agama di masa lalu, sering dianalogikan seperti orang yang memandang gunung dari kejauhan yang tampak indah dan nyaman padahal kalau didekati kondisinya sangat jauh berbeda. Maka, bagi para pendaki gunung atau militer, sadar betul antara perbedaan "peta" dan "teritorial" Yang pertama berupa gambar di atas kertas yang begitu sederhana, sedangkan yang kedua adalah realita di lapangan yang kompleksitasnya tidak terlihat dalam peta. Demikian juga dengan gambaran masa keemasan sebuah komunitas umat beragama di masa lalu, pada kenyataannya jika ditelusuri tidak seindah dan sesederhana apa yang ditulis ataupun diceritakan orang.

Gambaran yang nyata terjadi pada kehidupan sekarang ini, hanya demi ego, banyak orang yang melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Penyimpangan moralitas hampir terjadi setiap saat dan mereka sangat bangga dengan apa yang dilakukan. Tragedi kemanusiaan melanda dunia ini, perang terjadi di mana-mana, seolah-olah perang adalah solusi terbaik dalam penyelesaian masalah. Tragedi kemanusiaan di Afrika, Timur Tengah, Asia, dan khususnya di Indonesia sendiri telah menelan banyak korban.

Kenapa manusia mudah untuk menyakiti, menyiksa, membunuh, menjarah, memperkosa dan melakukan tindakan-tindakan amoral lainnya? Semua orang tidak menginginkan penderitaan tetapi kenapa mereka membuat orang lain menderita? Padahal mereka semua beragama, tentunya kita harus berpikir objektif untuk melihat realita kehidupan ini. Para penegak kemanusiaan juga selalu mendengung-dengungkan Hak Asasi Manusia tetapi kenyataannya sama sekali belum terwujud. Tragedi kemanusiaan seperti tak pernah pudar bahkan semakin menjadi-jadi. Kapan tragedi ini akan berakhir? Tentunya hal ini menjadi bahan perenungan setiap insan manusia.

Beragama Yang Tidak Anarkis

Tragedi kemanusiaan telah terjadi, memang kita tidak mengharapkan semua itu terjadi. Hanya saja peristiwa-peristiwa tragis tersebut menimbulkan pertanyaan bagi kita. Kenapa mereka mengatasnamakan kebenaran dalam melakukan sesuatu yang dapat dikatakan anarkis dan sangat merugikan orang lain? Apakah agama memang melegalkan cara-cara yang anarkis? Tentunya agama mengajak untuk menciptakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, hanya saja manusianya yang tidak bisa merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan orang beragama hanya sekadar beragama, sehingga mereka tidak mau tahu. Terkadang agama hanya dijadikan alat untuk memuaskan keakuannya sehingga mereka melakukan tindakan yang menyimpang dan menghina agama yang lain.

Semasih manusia beragama hanya sebatas tradisi, budaya, ritual dan hanya berhenti pada kepuasan intelektual semata, maka tidak akan ada perubahan. Agama mengajak kita untuk merubah pola pikir yang menuju ke arah kebaikan. Agama yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kepada tingkat kualitas batin yang sempurna, tentunya perjuangan ke arah itu tidak sekonyong-konyong tetapi secara bertahap.
Agama yang sesungguhnya mempunyai arti sangat ideal sebagai perekat, tali persaudaraan, faktor ketentraman kehidupan, tenyata berbalik menjadi alat legitimasi perilaku yang menakutkan, mencemaskan (anarkis). Agama dalam tataran realitas justru sering kali dieksploitasi umatnya untuk kepentingan sesaat, baik pribadi maupun kelompok. Hal-hal seperti inilah yang membuat terpuruknya kondisi dan situasi sekarang ini.

Dapatkah kita beragama tanpa harus merugikan kepentingan pihak lain? Kita kembalikan ke tujuan agama yang sebenarnya, agama tidak mengajak kita untuk menyakiti, menyiksa, membunuh, menjarah, memperkosa, menipu, perang, tetapi agama mengajak kita untuk menjadi orang yang berkualitas. Kualitas keagamaan yang baik akan membawa kebahagiaan semua orang. Tetapi kenyataannya sekarang ini sangat lain dari harapan-harapan yang positif itu.

Beragamalah yang benar dengan memahami agama secara benar dan merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai mengatakan agama saya yang benar sedangkan yang lain salah, hal ini akan merusak suasana kedamaian dan ketentraman. Hilangkan motivasi-motivasi yang tidak baik dalam beragama sehingga nantinya kita sampai pada pemahaman agama yang benar.

Seorang raja besar di India patut dijadikan contoh untuk perealisasian agama di tengah-tengah masyarakat yang beragam tanpa harus merugikan yang lain. Raja Asoka mampu mensosialisasikan Buddha Dhamma tanpa merugikan pihak lain, dalam prasasti di atas batu cadas terdapat tulisan yang indah yang berbunyi:

......janganlah kita menghormat agama sendiri dengan mencela agama lain tanpa suatu dasar yang kuat

Sebaliknya, agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping pula menguntungkan agama lain.

Dengan berbuat sebaliknya, maka kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama orang lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir, `bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri', malah akan merugikan agamanya sendiri.

Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya juga bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain ... ."

Kata-kata yang sangat indah, betapa damainya kehidupan ini jika hal ini dilakukan oleh setiap orang yang beragama. Tidak ada lagi tindakan-tindakan kekerasan, tindakan anarkis yang membawa kecemasan dan ketakutan.

Cinta, damai, dan sejahtera bukan milik kelompok tertentu tetapi milik semua orang, oleh karena itu, kita harus menjaganya dengan baik, realisasikan agama dalam kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga, organisasi, dan masyarakat. Agama adalah perekat kemanusiaan, karena dalam agama terkandung nilai-nilai kemanusiaan.

Persoalan setiap orang sebenarnya sama walaupun berbeda agama sekalipun. Persoalannya adalah tiga akar kejahatan yang bersarang dalam diri kita. Keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin adalah akar kejahatan yang menghinggapi kita dan jika dibiarkan akan menjadi bibit penyakit yang nantinya menimbulkan penyakit mental.

Penyakit mental inilah yang bisa menyebabkan terjadinya tindakan yang anarkis dalam menghadapi kondisi kehidupan ini. Dalam diri kita akan muncul perasaan tidak senang dengan pihak lain yang tidak sependapat. Terjadinya pembelaan terhadap agamanya sendiri dan mengesampingkan agama lain karena tidak adanya realisasi agama dalam kehidupan sehari-hari.

Sang Buddha bersabda, "Walaupun ia banyak membaca kitab-kitab suci tetapi tidak berbuat sesuai ajaran; maka orang yang tidak peduli ini bagaikan seorang penggembala sapi yang menghitung sapi orang lain; ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci". (Dhammapada I.19)

Dari sabda Sang Buddha tersebut dengan jelas diterangkan akan perlunya realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Bentuk realisasi dalam kehidupan ini salah satunya adalah mengembangkan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan di manapun kita berada. Dengan adanya aspek positif ini kita bisa hidup berdampingan dengan orang lain atau kelompok lain walaupun banyak perbedaan dan yang berkembang adalah suasana keharmonisan dalam kehidupan.

Pola beragama kita masih cenderung sepotong-sepotong dan tidak utuh. Sehingga tampilan perilaku umat beragama terkesan hanya menonjolkan aspek tertentu dan mengabaikan aspek yang lain. Hakekat agama tidak hanya diamalkan secara ritual formal, yang lebih penting adalah penerapan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk-bentuk perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan pemeluk agama ternyata disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Tidak heran jika ada orang yang mengaku beragama tetapi tindakannya tidak mencerminkan orang yang beragama.

Mengatasi Kemerosotan Beragama

Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kepemimpinan figur karismatis, kini wilayah budaya di luar agama berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang menyeluruh sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini, sikap umat beragama beraneka-ragam.

Sikap yang beraneka-ragam ini dikarenakan pemahaman terhadap agama itu sendiri berbeda. Tentunya di samping kualitas manusianya yang berbeda juga karena masing-masing orang mempunyai motivasi yang tidak sama. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan jaman yang tidak diimbangi dengan sumber daya manusia, baik mental maupun spiritual akan membahayakan kehidupan ini. Ambisi inilah yang mewarnai kehidupan dewasa ini. Orang berlomba-lomba mendapatkan materi, jabatan, kedudukan, dan warna-warna duniawi lainnya.

Bukan berarti agama mengajak kita semua untuk tidak maju dalam duniawi, hanya saja kita harus menggunakan cara-cara yang baik untuk mendapatkan semua itu. Yang lebih tragis lagi terkadang agama dijadikan alat untuk memuaskan ambisi.

Marilah kita kembali kepada agama dan benar-benar memahami agama itu dengan baik. Apa yang akan kita dapatkan jika kita memahami agama dan merealisasikan dalam kehidupan kita? Tentu ukurannya bukanlah duniawi, seperti: materi, jabatan, dan kedudukan tetapi perubahan pola pikir, pola ucap, dan pola tingkah laku jasmani. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah mengarah kepada peningkatan kualitas batin.

Namun, ada hal yang patut dipertanyakan, kalau memang agama tumpuan harapan yang baik bagi kehidupan, kenapa mental mereka yang beragama melakukan tindakan penyimpangan? Tindakan korupsi, kolusi, kekerasan dan gerakan aksi teroris yang menggegerkan dunia internasional. Kondisi seperti inilah yang membuat kesan citra agama menjadi jatuh. Mitos agama sebagai pusat peradaban dan misi keselamatan telah redup, diganti mitos baru “agama adalah problem dan sumber kerusuhan”.

Sebenarnya kalau kita kaji lebih lanjut agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini, hanya saja karena manusianya yang tidak memahami secara benar maka terkadang tindakan-tindakannya menyimpang. Realisasikan agama dalam kehidupan, baik di tengah-tengah keluarga, organisasi, tempat kerja, masyarakat, dan lingkungan pergaulan lainnya.

Hidupkan suasana persahabatan, persaudaraan, dan kekeluargaan (wujud dari cinta kasih). Sikap seperti ini tidak akan menghasilkan warna kekerasan dalam menghadapi problema hidup. Setiap orang tidak ingin hidupnya disakiti, dianiaya, dan ditelantarkan demikian pula sebaliknya dengan kita. Oleh karena itu, jangan membuat orang lain celaka dan menyebabkan orang lain celaka.

Damai dan sejahtera akan berkembang dengan sikap cinta kasih. Ada hal yang patut direnungkan yang tertuang dalam Theragâthâ 979,

“Kembangkanlah pikiran yang penuh cinta kasih;
bersikaplah welas asih dan terlatih di dalam sila.
Bangkitkan semangatmu,
bersikaplah teguh,
senantiasa mantap dalam membuat kemajuan.”

Suasana kehidupan yang penuh cinta kasih, damai, dan sejahtera adalah dambaan setiap orang. Ini sesuai misi Dhamma yang disampaikan kepada para Arahat sewaktu Sang Buddha mengutus mereka untuk menyebarkan Dhamma. Sang Buddha berkata,“Ajarkanlah Dhamma ini untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk.” Jadi tujuan Dhamma adalah membawa semua makhluk keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan.

Kemerosotan beragama terjadi karena banyak orang yang tidak kembali kepada tujuan sebenarnya dari agama itu sendiri. Kepentingan di luar agama dicampur-adukan untuk memenuhi ambisi pribadi maupun kelompoknya. Untuk mengembalikan ke tujuan awal, maka motivasi beragama harus diluruskan kembali.

Kemerosotan dapat diketahui dengan pasti ketika kondisi suatu masyarakat mengalami penurunan kualitas moral dan tentunya hal ini terjadi karena mereka tidak lagi mencintai kebenaran. Mereka yang mencintai kebenaranlah yang akan memperoleh cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Untuk dapat mencintai kebenaran diperlukan pemahaman agama secara benar dan juga diperlukan motivasi yang benar.

Motivasi yang benar dalam beragama setidak-tidaknya akan mendorong diri kita untuk memahami agama secara benar dan utuh, yang terpenting adalah menindaklanjutinya dalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap orang mempunyai motivasi seperti ini, maka kehidupan yang damai dan sejahtera akan terwujud. Tindakan amoral dan anarkis tidak akan terjadi lagi dan keharmonisanlah yang akan berkembang.

Agama Buddha Tanpa Kejahatan

Agama Buddha mengajak kita untuk menjadi orang yang mempunyai kualitas batin yang baik yang nantinya akan tercermin dalam kehidupan nyata. Sikap yang membawa berkah cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Kita selalu dianjurkan untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Tidak dianjurkan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Perbedaan adalah yang wajar dalam kehidupan ini, tetapi soal cita-cita untuk dicintai, hidup damai, dan sejahtera adalah harapan semua orang bahkan semua makhluk. Kalau sudah tahu semua makhluk mendambakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, janganlah sampai kita menyakiti yang lain.

Sebagai contoh yang nyata adalah kepribadian Sang Buddha sendiri. Kebaikan Beliau yang tak terbatas, tidak hanya ditujukan kepada semua manusia, tetapi juga pada binatang-binatang. Sang Buddha-lah yang melarang pengorbanan binatang dan mengingatkan pada pengiku-tNya untuk memancarkan cinta kasih (mettâ) mereka pada semua makhluk tanpa kecuali. Beliau mengajarkan bahwa tidak seorangpun mempunyai hak untuk menghancurkan kehidupan lainnya; karena hidup itu berharga bagi semua orang.

Hendaknya kita mengembangkan cinta kasih kita tanpa membeda-bedakan. Dengan adanya getaran cinta kasih ini akan muncul suasana persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Hal-hal seperti inilah yang akan mewujudkan kehidupan ini menjadi aman, damai, dan sejahtera. Tidak ada permusuhan, peperangan, tindakan anarkis, dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya.

Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Buddha, dari awal sampai saat sekarang ini tidak pernah ada cerita sampai ada darah yang menetes. Agama Buddha menyebar ke segala penjuru dengan membawa cinta, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan, hal ini tentunya sesuai dengan Dhamma yang diajarkan oeh Sang Buddha. Dhamma mengajak kita untuk tidak menyakiti atau membuat celaka orang lain dan bahkan semua makhluk karena hal ini tidak patut dilakukan.

Seperti halnya sabda Sang Buddha dalam Sutta Nipâta 705 dapat dijadikan bahan renungan,

“Begini aku, begitu pula orang lain;
begini orang lain, begitu pula aku.
Setelah memiliki penyamaan diri sendiri dengan orang lain seperti itu,
hendaklah ia tidak mencelakai siapapun atau menyebabkan orang lain celaka.”

Asoka, raja terbesar yang beragama Buddha, menulis di atas karang monolit, “Makhluk hidup tidak harus diberi makanan dengan makhluk hidup. Bahkan sekam yang berisi serangga tidak boleh dibakar.”. Raja Asoka bukan hanya menulis tetapi juga menindaklanjuti apa yang ditulis. Pada jaman Raja Asoka tindakan anti kekerasan betul-betul digalakkan bukan hanya kepada manusia tetapi juga pada binatang. Dhamma benar-benar merasuk di dalam batin sang raja, hal ini dapat dilihat dari pola pikir beliau dan juga tindakan-tindakannya.

Seorang umat Buddha sejati harus mempraktikkan mettâ ini terhadap semua makhuk hidup dan merasakan kesamaan dengan semuanya, tidak mempunyai perbedaan apapun. Inilah mettâ umat Buddha, salah satu sifat yang sangat menonjol dari agama Buddha yang mencoba untuk mengatasi semua rintangan 'varna atau kasta', warna kulit dan kepercayaan yang memisahkan seseorang dengan yang lainnya. Jika penganut dari kepercayaan-kepercayaan yang berbeda tidak bisa bergaul seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan, karena mereka penganut agama yang berbeda, maka para guru agama telah gagal dalam tugas mulia mereka.

Di dalam Maklumat Toleransi Raja Asoka mengatakan, “Kumpulan orang adalah paling baik, maka semua orang diharuskan mendengarkan dengan kemauan sendiri ajaran yang dinyatakan oleh orang-orang lain”. Dalam hal ini, perbedaan adalah sesuatu yang alami dan wajar, oleh karena itu kita harus memahami perbedaan itu dan kita juga seharusnya menyadari bahwa setiap orang juga mendambakan cinta, damai, dan hidup sejahtera.

Ajaran agama Buddha tidak terbatas pada hubungan bangsa atau negara tertentu dan pertimbangannya bersifat universal. Bagi umat Buddha tidak ada jauh atau dekat, tidak ada musuh atau orang asing, tidak ada pengkhianat atau orang hina-dina, karena cinta universal disadari melalui pengertian telah membentuk persaudaraan bagi semua makhluk.

Beberapa sifat penting dalam agama Buddha adalah rasionalitas, kepraktisan, kemanjuran sikap tidak agresif, tidak menyakiti, toleransi dan berlaku universal. Agama Buddha adalah yang paling mulia dari semua pengaruh yang mempersatukan dan meningkatkan pikiran yang telah beroperasi lebih dari dua ribu lima ratus tahun.

Bangsa-bangsa telah timbul tenggelam. Kerajaan-kerajaan yang telah berdiri di atas tenaga dan kekuatan telah timbul dengan subur dan mengalami kehancuran. Sebaliknya Dhamma berdiri di atas cinta dan akal sehat, masih tumbuh subur dan akan terus tumbuh dengan subur selama pengikut-pengikutnya berpegang pada dasar-dasar yang mulia.

Dhamma, sumber kedamaian bagi siapa saja, namun untuk mendapatkannya kita harus berusaha dengan sekuat tenaga dan disertai pengorbanan yang tinggi. Dhamma yang terealisasi dengan baik akan membawa kita kepada kehidupan yang penuh dengan cinta, damai, dan sejahtera.

Referensi :
- Sang Buddha dan Ajaran-Nya, Ven. Narada Mahâthera
- Dhammasari, MP. Sumedha Widyadharma
- Permata Dhamma Yang Indah, Ven. S Dhammika.

Copyright © 2024 Blessing Buddha All rights reserved. Design & Powered by LaWaveDesign.com - Disclaimer